Sunday, 15 November 2015

Saiyyidatina Aminah Bint Wahab Ibunda Rasulullah SAW

Aminah binti Wahab (???-577) (Bahasa Arab: آمنة بنت وهب) adalah ibu yang melahirkan Nabi Muhammad.

Seorang wanita berhati mulia, pemimpin para ibu. Seorang ibu yang telah menganugerahkan anak tunggal yang mulia pembawa risalah yang lurus dan kekal, rasul yang bijak, pembawa hidayah. Dialah Aminah binti Wahab. Ibu dari Nabi kita Muhammad (Shollallohu ‘Alaihi Wasallam)yang diutus ALLAH sebagai rahmat seluruh alam. Cukuplah baginya kemuliaan dan kebanggaan yang tidak dapat dimungkiri, bahwa ALLAH Azza Wa Jalla memilihnya sebagai ibu seorang rasul mulia dan nabi yang terakhir.

Berkatalah Baginda Nabi Muhammad (Shollallohu ‘Alaihi Wasallam) tentang nasabnya.
“ALLAH telah memilih aku dari Kinanah, dan memilih Kinanah dari suku Quraisy bangsa Arab. Aku berasal dari keturunan orang-orang yang baik, dari orang-orang yang baik, dari orang-orang yang baik.”

Dengarlah sabdanya lagi, “Allah memindahkan aku dari sulbi-sulbi yang baik ke rahim-rahim yang suci secara terpilih dan terdidik. Tiadalah bercabang dua, melainkan aku di bahagian yang terbaik.”

Bunda Aminah bukan cuma ibu seorang rasul atau nabi, tetapi juga wanita pengukir sejarah. Kerana risalah yang dibawa putera tunggalnya sempurna, benar dan kekal sepanjang zaman. Suatu risalah yang bermaslahat bagi ummat manusia. Berkatalah Ibnu Ishaq tentang Bunda Aminah binti Wahab ini. “Pada waktu itu ia merupakan gadis yang termulia nasab dan kedudukannya di kalangan suku Quraisy.”

Menurut penilaian Dr. Bint Syaati tentang Aminah ibunda Nabi Muhammad (Shollallohu ‘Alaihi Wasallam) iaitu. “Masa kecilnya dimulai dari lingkungan paling mulia, dan asal keturunannya pun paling baik. Ia (Aminah) memiliki kebaikan nasab dan ketinggian asal keturunan yang dibanggakan dalam masyarakat aristokrasi (bangsawan) yang sangat membanggakan kemuliaan nenek moyang dan keturunannya.”

Aminah binti Wahab merupakan bunga yang indah di kalangan Quraisy serta menjadi puteri dari pemimpin bani Zuhrah. Pergaulannya senantiasa dalam penjagaan dan tertutup dari pandangan mata. Terlindung dari pergaulan bebas sehingga sukar untuk dapat mengetahui jelas penampilannya atau gambaran fizikalnya. Para sejarawan hampir tidak mengetahui kehidupannya kecuali sebagai gadis Quraisy yang paling mulia nasab dan kedudukannya di kalangan Quraisy.

Meski tersembunyi, baunya yang harum semerbak keluar dari rumah bani Zuhrah dan menyebar ke segala penjuru Makkah. Bau harumnya membangkitkan harapan mulia dalam jiwa para pemudanya yang menjauhi wanita-wanita lain yang terpandang dan dibicarakan orang.

Kelahiran

Kurang lebih enam setengah abad setelah kenabian Isa putra Maryam, di Tanah Hijaz (Mekkah), tepatnya pada qabilah Quraisy, lahirlah bayi perempuan nan cantik, tepatnya dari Bani Zuhrah. Bayi mungil itu kemudian diberi nama Aminah, putri Wahab seorang bangsawan Quraisy yang berkedudukan tinggi di antara kaumnya.

Ayah Aminah adalah pemimpin Bani Zuhrah, yang bernama Wahab bin Abdulmanaf bin Zuhrah bin Kilab.
Sedangkan ibu Aminah adalah Barrah binti Abdul-Uzza bin Usman bin Abduddar bin Qushay.

Nenek moyang Aminah adalah orang-orang yang memiliki kemuliaan yang belum pernah dimiliki oleh qabilah lain. Mereka adalah orang-orang suci yang bersih dari perbuatan tercela dan tidak pernah tergoda kehormatannya.

Oleh karena kesucian dan kemulian yang dimiliki nenek moyangnya itulah, maka Rasulullah dengan bangga pernah menyatakan dalam sabdanya :

“… Dan selanjutnya Allah memindahkan aku dari tulang sulbi yang baik kedalam rahim yanng suci, jernih dan terpelihara. Tiap tulang sulbi itu bercabang menjadi dua, aku berada di dalam yang terbaik di antara keduanya.” (Hadist Syarif).

Pernikahan Aminah

Setelah menginjak dewasa, Aminah berkembang menjadi gadis yang amat cantik, melebihi kecantikan gadis-gadis Makkah pada saat itu. Melihat anak gadisnya telah beranjak dewasa, ayahnya segera mencarikan jodoh untuknya. Akhirnya yang paling cocok dan dianggap sekufu dengan Aminah adalah keponakannya sendiri, yaitu Abdullah bin Abdul Muthalib. Abdullah adalah anak ke 10 dari Abdul Muthalib hasil perkawinannya dengan Fathimah binti ‘Amr al-Makhzumy dari Bani Makhzum. Bani Makhzum merupakan tulang punggung kekuatan qabilah Quraisy.

Abdullāh bin Syaibah atau lebih dikenal dengan Abdullah bin Abdul-Muththalib (Bahasa Arab: عبدالله بن عبد المطلب‎)‎ (545-570)

Sedangkan Abdul Muthalib adalah seorang tokoh Quraisy yang mendapat kehormatan lebih dari kaumnya, dan keagungannya diakui oleh penduduk Quraisy. Ia sangat disegani oleh semua lapisan masyarakat Makkah pada waktu itu karena sikapnya yang bijaksana.

Banyak orang mengatakan bahwa Aminah dan Abdullah itu sangat sekufu dan serasi bila dijodohkan. Yang wanitanya cantik sedangkan prianya tampan.

Cahaya di dahi

ALLAH memilih Aminah “Si Bunga Quraisy” sebagai isteri Sayyid Abdullah bin Abdul Muthalib di antara gadis lain yang cantik dan suci. Ramai gadis yang meminang Abdullah sebagai suaminya seperti Ruqaiyah binti Naufal, Fatimah binti Murr, Laila al Adawiyah, dan masih ramai wanita lain yang telah meminang Abdullah.

Ibnu Ishaq menuturkan tentang Abdul Muthalib yang membimbing tangan Abdullah anaknya setelah menebusnya dari penyembelihan. Lalu membawanya kepada Wahab bin Abdu Manaf bin Zuhrah – yang waktu itu sebagai pemimpin bani Zuhrah – untuk dinikahkan dengan Aminah.

Sayyid Abdullah adalah pemuda paling tampan di Makkah. Paling memukau dan paling terkenal di Makkah. Tak hairan, jika ketika ia meminang Aminah, ramai wanita Makkah yang patah hati.”

Cahaya yang semula memancar di dahi Abdullah kini berpindah ke Aminah, padahal cahaya itulah yang membuat wanita-wanita Quraisy rela menawarkan diri sebagai calon isteri Abdullah. Setelah berhasil menikahi Aminah, Abdullah pernah bertanya kepada Ruqaiyah mengapa tidak menawarkan diri lagi sebagai suaminya. Apa jawab Ruqayah, “Cahaya yang ada padamu dulu telah meninggalkanmu, dan kini aku tidak memerlukanmu lagi.”

Fatimah binti Murr yang ditanyai juga berkata, “Hai Abdullah, aku bukan seorang wanita jahat, tetapi kulihat aku melihat cahaya di wajahmu, kerana itu aku ingin memilikimu. Namun ALLAH tak mengizinkan kecuali memberikannya kepada orang yang dikehendakiNya.”

Jawaban serupa juga disampaikan oleh Laila al Adawiyah. “Dulu aku melihat cahaya bersinar di antara kedua matamu kerana itu aku mengharapkanmu. Namun engkau menolak. Kini engkau telah mengahwini Aminah, dan cahaya itu telah lenyap darimu.”

Memang “cahaya” itu telah berpindah dari Abdullah kepada Aminah. Cahaya ini setelah berpindah-pindah dari sulbi-sulbi dan rahim-rahim lalu menetap pada Aminah yang melahirkan Nabi Muhammad SAW. Bagi Nabi Muhammad merupakan hasil dari doa Nabi Ibrahim bapanya. Kelahirannya sebagai khabar gembira dari Nabi Isa saudaranya, dan merupakan hasil mimpi dari Aminah ibunya. Aminah pernah bermimpi seakan-akan sebuah cahaya keluar darinya menyinari istana-istana Syam. Dari suara ghaib ia mendengar, “Engkau sedang mengandung pemimpin ummat.”

Masyarakat di Makkah selalu membicarakan, kedatangan nabi yang ditunggu-tunggu sudah semakin dekat. Para pendita Yahudi dan Nasrani, serta peramal-peramal Arab, selalu membicarakannya. Dan ALLAH telah mengabulkan doa Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam. seperti disebutkan dalam Surah al Baqarah ayat 129.

“Ya Tuhan kami. Utuslah bagi mereka seorang rasul dari kalangan mereka.”

Dan terwujudlah khabar gembira dari Nabi Isa ‘Alaihissalam. seperti tersebut dalam Surah as-Shaff ayat 6. “Dan memberi khabar gembira dengan (datangnya) seorang rasul yang akan datang sesudahku, namanya Ahmad (Muhammad)”.

Bermimpi Melahirkan Orang Terkemuka

Beberapa minggu setelah pernikahan suci itu, Aminah bermimpi. Mimpinya itu, seolah-olah ia melihat sinar yang terang benderang mengelilingi dirinya. Ia juga seolah-olah melihat istana-istana di Bashrah dan Syam. Seolah-olah dia juga mendengar suara yang ditujukan kepadanya: “Engkau telah hamil dan akan melahirkan seorang manusia termulia di kalangan umat ini!”

Seperti kebanyakan penduduk Quraisy lainnya, pekerjaan Abdullah adalah berdagang. Ia sering mengembara ke negeri Syam atau ke negeri-negeri lainnya. Kegembiraan yang baru saja meluap dengan kehamilan istrinya, kini serta merta menjadi kesedihan yang cukup dalam karena ia harus segera bergabung dengan kafilah Quraisy untuk melakukan perdaganngan ke Gaza dan Syam. Entah kenapa kali ini ia merasa amat berat meninggalkan rumah. Biasanya ia berangkat berdagang dengan semangat yang tinggi. Kali ini sepertinya ia telah mempunyai firasat, pergi bukan untuk kembali. Namun pergi untuk selama-lamanya dari pangkuan istrinya yang tercinta. Namun kegalauan hatinya tidak disampaikannya kepada Aminah. Ia takut kegalaluan hatinya akan merisaukan hati Aminah, sehingga akan mengganggu janin dalam kandungannya.

Akhirnya Abdullah tetap pergi meski dengan hati yang tertambat di rumah. Hatinya begitu sedih, hingga tak terasa air matanya keluar membasahi pipi. Air mata perpisahan, hanya Allah-lah yang mengetahui, apakah suami istri itu akan berjumpa lagi atau tidak. Hanya saja mereka berdua merasakan bahwa saat itu hati keduanya sama-sama tidak menentu.

Sang Suami Meninggal Dunia

Pada suatu hari ketika Aminah sedang berada di muka rumahnya, ia melihat nun jauh di sana titik-titik hitam rombongan Quraisy yang sedang pulang. Saat itu tak terlintas dalam pikirannya kecuali keselamatan suaminya. Ketika rombongan kafilah semakin dekat, hati Aminah bertambah resah karena belum ada suatu tanda pun mengenai suaminya. Hatinya bergejolak karena dirasa iring-iringan kafilah itu berjalan amat lambat bagaikan iring-iringan semut. Karena tidak sabar, ia menyuruh pembantu mertuanya yang bernama Barakah Ummu Aiman untuk mencegah kafilah dan mencari kepastian kabar suaminya.

Akhirnya Aminah beranjak ke dalam kamarnya untuk merebahkan diri. Belum lama ia membaringkan badannya, terdengar ketukan pintu. Dengan hati yang berdebar dan tubuh terasa terbang, Aminah segera membukakan pintu. Tak ada pikiran lain saat itu kecuali suaminya. Kekecewaan lagi-lagi menerpa hati Aminah, sebab orang yang datang bukanlah orang yang dirindukannya, melainkan mertuanya dan ayahnya sendiri, Wahab bin Abdi Manaf.

Melihat rona kekecewaan yang tergambar jelas di wajah menantunya ini, Abdul Muthalib merasa amat kasihan. Kemudian dengan hati-hati disampaikannya berita mengenai Abdullah. Maka Aminah mendengarkannya dengan penuh perhatian.

Kata Abdul Muthalib: “Aminah… tabahkanlah hatimu dalam menghadappi persoalan-persoalan yang mencemaskan. Kafilah yang selama ini kita tunggu-tunggu telah kembali. Dan salah satu anggota kafilah memberitahukan bahwa suamimu, Abdullah mengalami gangguan di tengah perjalanan, hingga saat ini ia belum bisa pulang kembali ke Mekkah. Ia sekarang sedang berada di rumah salah seorang pamannya dari Bani Makhzum. Menurut kabar, suamimu mendadak sakit dan setelah sembuh ia pasti akan segera sampai di rumah dengan selamat..!”

Mendengar berita yang sangat tidak mengenakkan itu, Aminah hanya bisa pasrah dan berdoa. Harapannya seakan pupus untuk segera bertemu dengan suaminya, karena jarak yang memisahkan antara Mekkah (Hijaz) dan Madinah (Yatsrib) tidaklah dekat. Kini yang bisa dilakukan Aminah hanyalah memulai masa penantian.

Setelah dua bulan, datanglah kabar yang membuat hatinya luluh lantak karena Al Harits yang disuruh menyusul kemballi Abdullah, memberitahukan bahwa suaminya telah meninggal dunia, sedangkan jenazahnya dikuburkan di tempat itu juga. Penantian dan kerinduan yang selama ini ia pendam ternyata tidak tertumpahkan. Belum lama ia mengecap kebahagiaan bersama suami yang dicintainya, kini ia telah ditinggalkan untuk selama-lamanya.

Abrahah Datang Saat Kelahiran Nabi

Ketika kelahiran putranya sudah dekat, tiba-tiba mertuanya menyuruhnya berkemas-kemas untuk mengungsi keluar kota Mekkah, menyelamatkan diri bersama-sama orang Quraisy lainnya. Mereka beramai-ramai mengungsi ke sebuah perbukitan yang tidak jauh dari kota Mekkah.

Mengapa terjadi pengungsian besar-besaran dari kota Mekkah? Ternyata ketika itu telah tersiar kabar bahwa penguasa Habasyah dari Yaman yang bernama raja Abrahah akan mengerahkan pasukannya yang begitu besar dan kuat ke kota Mekkah untuk menghancurkan Ka’bah. Abdul Muthalib mengetahui hal itu karena sebelumnya ia telah bertemu langsung dengan raja Abrahah untuk meminta kembali 200 ekor untanya yang telah dirampas oleh pasukan dzalim itu.

Aminah cukup heran mendengar seruan mertuanya untuk mengungsi. Bukanlah lebih baik melawan orang dzalim yang hendak menghancurkan rumah suci Ka’bah? Maka keheranan itu ditanyakan kepada mertuanya: “Paman…saya mendengar orang-orang Quraisy, Kinanah, Hudzail dan semua orang yang tinggal di tanah suci ini telah bertekad hendak berperang melawan setiap penyerbu. Apa yang menghalangi mereka sehingga mereka berubah niat, hendak meninggalkan Ka’bah serta tidak mau membelanya?”.

Jawab Abdul Muthalib: “Anakku, kita tidak mempunyai kekuatan yang seimbang dengan kekuatan mereka. Jika kita memaksakan diri untuk melawan mereka dengan senjata, maka kita akan hancur dan menderita kekalahan dengan kerugian yang besar. Rumah suci itu ada yang punya, pemiliknyalah yang akan melindunginya!”

Aminah sebenarnya enggan pergi kemana-mana. Ia ingin melahirkan di rumahnya sendiri, di dekat Ka’bah. Kini hatinya kembali risau, memikirkan nasib anaknya yang mungkin akan lahir di luar kota suci. Namun akhirnya ia berhasil meyakinkan diri sebagaimana keyakinan mertuanya bahwa Baitullah pasti akan memperoleh perlindungan dari pemiliknya. Kini ia justru bertekad hendak meninggalkan rumah untuk mengungsi, demi keselamatan bayinya. Biarlah Allah yang menentukan nasib dirinya, putranya dan rumah suci-Nya.

Ketika petang menjelang, tiba-tiba datang seseorang ke rumahnya, ia memberitahukan bahwa Abrahah telah gagal menyerbu ka’bah. Allah tidak meridhoi mereka yang hendak merusak rumah suci tersebut. Bahkan kemurkaan Allah tergambar jelas dengan adanya adzab yang menimpa Abrahah dan pasukannya. Sebagian besar pasukan Abrahah tewas tertembus batu-batu kecil yang dijatuhkan burung Ababil. Sedangkan sisanya lari tunggang langgang untuk menyelamatkan diri.

Kurang lebih lima puluh hari kemudian, Aminah melahirkan bayi lelaki yang bersinar penuh keagungan. Bayi yang kemudian menjadi Rasul Allah ini dilahirkan di tengah keluarga Bani Hasyim di Mekkah hari Senin pagi, tanggal 12 Rabi’ul Awwal, permulaann tahun dari peristiwa gajah dan 450 tahun setelah kekuasaan Kisra Anusyirwan , bertepatan dengan tanggal 20 atau 22 bulan April 571 Masehi. Aminah melahirkan hanya ditemani oleh pembantu setianya, Ummu Aiman.

Munculnya keanehan saat Aminah Melahirkan

Berbagai keanehan terjadi mengiringi kelahiran Rasulullah SAW. Di antara keanehan yang bersifat ghaib adalah: tertutupnya pintu langit untuk para jin dan iblis. Sebelum Aminah melahirkan, jin dan iblis bebas naik turun ke langit, untuk mencuri pembicaraan malaikat. Namun sejak lahirnya manusia paling sempurna di dunia ini, pintu langit tertutup untuk setan yang terkutuk.

Ada juga sebagian riwayat yang mengemukakakn bahwa Aminah melahirkan bayinya sudah dalam keadaan dikhitan, sedangkan Aminah sama sekali tidak mendapatkan nifas, setelah melahirkan. Keanehan lain juga sempat disaksikan oleh Aminah sendiri. Kata Aminah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’ad: “Setelah bayiku keluar, aku melihat cahaya yang keluar dari kemaluannya, menyinari istana-istana di Syam!” Ahmad juga meriwayatkan dari Al-Irbadh bin Sariyah yang isinya serupa dengan perkataan tersebut.

Beberapa bukti kerasulan, bertepatan dengan kelahiran beliau, yaitu runtuhnya sepuluh balkon istana Kisra dan padamnya api yang biasa disembah oleh orang-orang Majusi serta runtuhnya beberapa gereja di sekitar istana Buhairah. Setelah itu, gereja-gereja tersebut ambles ke tanah. Demikian diriwayatkan dari Al-Baihaqy.

Setelah melahirkannya, dia menyuruh orang untuk memberitahukan kepada mertuanya tentang kelahiran cucunya. Maka Abdul Muthalib dengan perasaan sukacita kemudian menggendong cucunya yang baru lahir dan membawanya ke Ka’bah seraya bersyukur dan berdoa kepa

Disusui Wanita Kampung

Sebagaimana tradisi orang Arab yang memberikan bayinya untuk disusui kepada wanita kampung, maka Aminah harus pula melepaskan anaknya untuk disusui orang lain. Namun, sebelum melepaskan anaknya kepada Halimah binti Abi Dua’ib as Sa’diah, ia tetap menyusui sendiri bayinya itu. Setelah dua tahun, tugas Halimah selesai, Aminah menerima kembali anaknya.

Selanjutnya ia membawa Muhammad ke Yatsrib untuk berziarah ke kuburan suaminya, yang telah 7 tahun berbaring di sana. Untuk itu, ia mempersiapkan segala sesuatu agar dia dan anaknya dapat ikut bersama kafilah yang akan membawa dagangan. Setelah tinggal di Yatsrib selama sebulan lamanya, Aminah bersiap-siap untuk pulang bersama kafilah yang akan kembali ke Mekah. Namun di tengah perjalanan, sesampai si Abwa’, sebuah desa antara Madinah dan Mekah (kira-kira 37 km dari Madinah), Aminah, ibunda Rasulullah SAW menderita sakit. Sakitnya itu membawa kematiannya. Ia dikubur di tempat itu juga. Muhammad SAW ketika itu berumur sekitar 6 tahun.

Saat menjelang wafatnya, Aminah berkata: “Setiap yang hidup pasti mati, dan setiap yang baru pasti usang. Setiap orang yang tua akan binasa. Aku pun akan wafat tapi sebutanku akan kekal. Aku telah meninggalkan kebaikan dan melahirkan seorang bayi yang suci.”

Diriwayatkan oleh Aisyah dengan katanya, “Rasulullah (Shollallohu ‘Alaihi Wasallam) memimpin kami dalam melaksanakan haji wada’. Kemudian baginda lalu mendekat kubur ibunya sambil menangis sedih. Maka aku pun ikut menangis kerana tangisnya.”

Betapa harumnya nama Aminah, dan betapa kekalnya namanya nan abadi. Seorang ibu yang luhur dan agung sebagai ibu Baginda Muhammad (Shollallohu ‘Alaihi Wasallam) manusia paling utama di dunia, paling sempurna di antara para nabi, dan sebagai rasul yang mulia. Bunda Aminah binti Wahab adalah ibu kandung rasul yang mulia. Semoga ALLAH memberkahinya.

Mari kita kenali nabi kita sampai ke ibu & bapaknya. Yang tak kenal sulit untuk mencintainya.

Semoga ALLAH Ta’ala menjadikan kita sebagai ummat Beliau (Shollallohu ‘Alaihi Wasallam) yang diridloi dunia sampai akhirat. Amiin.

***

[Sumber: Ensiklopedi Muslimah karya KH. A. Aziz Masyhuri]

Wednesday, 11 November 2015

Saiyyidatina Raihanah Binti Zaid

Para perawi hadits berselisih pendapat tentang kehidupan Raihanah. Selain itu, tidak banyak riwayat yang menjelaskan istri Rasulullah yang satu ini. Permasalahan berpusat pada data apakah Rasulullah membebaskannya kemudian menikahinya atau beliau hanya menjadikannya sebagai budak? Sebagian riwayat mengatakan bahwa Raihanah termasuk salah seorang istri beliau, namun riwayat lain mengatakan bahwa dia bukan istri beliau.

Agar permalahannya jelas, berikut ini dipaparkan perjalanan hidup Raihanah. Di dalam Thabaqat yang diriwayatkan Ibnu Saad, dikatakan bahwa Raihanah sendiri berkata, “Ketika Bani Quraizhah ditawan, saya termasuk yang dihadapkan kepada Rasulullah. Beliau menyuruhku menyendiri karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. memiliki hak sebagai pemilih pertama atas rampasan perang yang diperoleh kaum muslimin. Ketika aku menyendiri, Allah memberiku petunjuk. Beliau mengirirnku ke rumah Urnrnul-Mundzir binti Qais untuk beberapa hari. Beliau mernanggilku dan rnenyuruhku duduk di hadapannya seraya herkata, ‘Jika engkau memilih Allah dan Rasul-Nya maka Rasul-Nya akan memilihmu untuk dirinya.’ Aku menjawab, ‘Aku telah memilih Allah dan Rasul-Nya.’ Ketika aku memeluk Islam, beliau membebaskan dan menikahiku. Kernudian beliau memberiku dua belas uqiyah dan satu nasya sebagaimana beliau berikan kepada istri-istri lainnya, kemudian melangsungkan pernikahan denganku di rumah Ummul-Mundzir. Beliau memberi bagian kepadaku sebagaimana terhadap istri-istri lainnya, dan beliau menyuruhku memakai hijab.”

Nama lengkapnya Raihanah adalah Raihanah binti Zaid bin Amru Khunaqah bin Syam’un bin Zaid dan Bani Nadhir. Suaminya, al-Hakam, berasal dan Bani Quraizhah. Di dalam kitab As-Samthust-Tsamin fii Manaqih Ummahatul-Mukminin (Perangkai Mutiara Berharga dalam Keunggulan Istri-istri Nabi), Ath-Thabari rneriwayatkan, “Muhammad bin Umar mengabarkan kepada kami bahwa Abdullah bin Ja’far bin Yazid ibnul-Haad mengabarkan kepada kami, dari Tsa’labah bin Abi Malik, ‘Raihanah binti Zaid bin Amru bin Khunaqah dari Bani Nadhir bersuarnikan seseorang dari kalangan mereka yang bernama al-Hakam. Ketika Bani Quraizhah ditawan, Rasulullah rnenawannya, kemudian membebaskannya dan menikahinya hingga dia meninggal di sisinya.” Di dalam kitab ini pun disebutkan bahwa Muhammad bin Umar mengabarkan kepada karni, Shaleh bin Ja’far mengabarkan dari Muhammad bin Kaab, “Raihanah termasuk yang Allah bebaskan. Dia adalah wanita cantik dan menawan. Ketika suaminya terbunuh, dia berada dalam tawanan. Dia menjadi bagian Rasulullah pada hari penaklukan Bani Quraizhah. Rasululah Shallallahu ‘alaihi wassalam. memberinya pilihan antara Islam dan tetap dalam agamanya, dan ternyata dia memilih Islam. Rasulullah membebaskannya kemudian menikahi dan memberikannya hijab. Suatu waktu dia sangat cemburu kepada Rasulullah sehingga beliau menceraikannya. Akibat percerainnya, dia tidak dapat tidur dan sangat bersedih. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. menemui dan merujuknya kembali sehingga dia tetap bersama Rasulullah hingga meninggal dunia sebelum Rasulullah wafat.”

Di dalam riwayat lain dalam buku yang sama disebutkan bahwa Raihanah tidak termasuk istri-istri Rasulullah. Abdul Malik bin Sulaiman mengabarkan kepada kami, dari Ayyub bin Abdur-Rahman bin Sha’shaah, dari Ayyub bin Basyir al-Mu’awy, “Ketika Bani Quraizhah ditawan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam. mengirim Raihanah ke rumah Salma binti Qais atau yang dikenal dengan sebutan Ummul-Mundzir. Dia tinggal bersamanya hingga datang haid sekali lalu suci dari haidnya itu. Ummul-Mundzir memberi kabar kepada Rasulullah. Beliau mendatanginya di rumah Ummul Mundzir, dan berkata, ‘Jika kamu suka, aku akan membebaskanmu lalu menikahimu, niscaya akan aku lakukan. Dan jika kamu suka, aku akan menjadikanmu sebagai budakku.’ Dia menjawab, ‘Ya Rasulullah, aku lebih suka menjadi budakmu. Hal itu lebih meringankan bagiku dan bagimu.’ Lalu dia tetap menjadi budak beliau dan digauli sebagai budak hingga akhir hayatnya.”

Demikianlah sekilas riwayat Raihanah binti Zaid bin Amru. Dalam hal kami (penulis buku) tidak terlalu menganalisis riwayat-riwayat yang lain, hanya saja kami sudah meyakini kesepakatan para perawi hadits tentang wafatnya Raihanah semasa hidup Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam. Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala mengasihi dan meridhainya. Amin.

Sumber: Kitab Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyad

P/s...need more study for this post

Saiyyidatina Mariah Binti Shamaun

MARIA AL QIBTIYYAH
Ketika berbicara nama Maria Al Qibtiyah maka ingatan kita akan senantiasa tertuju kepada surat ke 66 ayat pertama :

يا أيها النبي لم تحرم ما أحل الله لك تبتغي مرضات أزواجك والله غفور رحيم
Artinya : “Hai Muhammad, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “ (QS. At-Tahriim:1)
Seperti halnya Sayyidah Raihanah binti Zaid, Mariyah al-Qibtiyah adalah budak Rasulullah yang kemudian beliau bebaskan dan beliau nikahi. Rasulullah memperlakukan Mariyah sebagaimana beliau memperlakukan istri-istri beliau yang lainnya. Abu Bakar dan Umar pun memperlakukan Mariyah layaknya seorang Ummul-Mukminin. Dia adalah istri Rasulullah satu-satunya yang melahirkan seorang putra, Ibrahirn, setelah Khadijah.

A. Dari Mesir ke Yastrib
Tentang nasab Mariyah, tidak banyak yang diketahui selain nama ayahnya. Nama lengkapnya adalah Mariyah binti Syama’un dan dilahirkan di dataran tinggi Mesir yang dikenal dengan nama Hafn. Ayahnya berasal dan Suku Qibti, dan ibunya adalah penganut agarna Masehi Romawi. Setelah dewasa, bersarna saudara perempuannya, Sirin, Mariyah dipekerjakan pada Raja Muqauqis.
Rasulullah saw. mengirim surat kepada Muqauqis melalui Hatib bin Baltaah, rnenyeru raja agar memeluk Islam. Raja Muqauqis menerima Hatib dengan hangat, namun dengan ramah dia menolak memeluk Islam, justru dia mengirimkan Mariyah, Sirin, dan seorang budak bernama Maburi, serta hadiah-hadiah hasil kerajinan dari Mesir untuk Rasulullah. Di tengah perjalanan Hatib rnerasakan kesedihan hati Mariyah karena harus rneninggalkan kampung halamannya. Hatib rnenghibur mereka dengan menceritakan Rasulullah dan Islam, kemudian mengajak mereka merneluk Islam. Mereka pun menerirna ajakan tersebut.
Rasulullah teläh menerima kabar penolakan Muqauqis dan hadiahnya, dan betapa terkejutnya Rasulullah terhadap budak pemberian Muqauqis itu. Beliau mengambil Mariyah untuk dirinya dan menyerahkan Sirin kepada penyairnya, Hasan bin Tsabit. Istri-istri Nabi yang lain sangat cemburu atas kehadiran orang Mesir yang cantik itu sehingga Rasulullah harus menitipkan Mariyah di rumah Haritsah bin Nu’man yang terletak di sebelah rnasjid.

B. Ibrahim bin Muhammad saw.
Allah menghendaki Mariyah al-Qibtiyah melahirkan seorang putra Rasulullah setelah Khadijah r.a. Betapa gembiranya Rasulullah mendengar berita kehamilan Mariyah, terlebih setelah putra-putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayah meninggal dunia.
Mariyah mengandung setelah setahun tiba di Madinah. Kehamilannya membuat istri-istri Rasul cemburu karena telah beberapa tahun mereka menikah, namun tidak kunjung dikaruniai seorang anak pun. Rasulullah menjaga kandungan istrinya dengan sangat hati-hati. Pada bulan Dzulhijjah tahun kedelapan hijrah, Mariyah melahirkan bayinya yang kemudian Rasulullah memberinya nama Ibrahim demi mengharap berkah dari nama bapak para nabi, Ibrahim a.s.. Lalu beliau memerdekakan Mariyah sepenuhnya. Kaum muslimin menyambut kelahiran putra Rasulullah saw. dengan gembira.
Akan tetapi, di kalangan istri Rasul lainnya api cemburu tengah membakar, suatu perasaan yang Allah ciptakan dominan pada kaum wanita. Rasa cemburu sernakin tampak bersamaan dengan adanya pertemuan Rasulullah saw. dengan Mariyah di rumah Hafshah sedangkan Hafshah tidak berada di rumahnya. Hal ini menyebabkan Hafshah marah. Atas kemarahan Hafshah itu Rasulullah rnengharamkan Mariyah atas diri beliau. Kaitannya dengan hal itu, Allah SWT telah menegur lewat firman-Nya:




“Hai Muhammad, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah menghalalkannya bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. “ (QS. At-Tahriim:1)

Aisyah mengungkapkan rasa cemburunya kepada Mariyah, “Aku tidak pernah cemburu kepada wanita kecuali kepada Mariyah karena dia berparas cantik dan Rasulullah sangat tertarik kepadanya. Ketika pertama kali datang, Rasulullah menitipkannya di rumah Haritsah bin Nu’man al-Anshari, lalu dia menjadi tetangga kami. Akan tetapi, beliau sering kali di sana siang dan malam. Aku merasa sedih. Oleh karena itu, Rasulullah memindahkannya ke kamar atas, tetapi beliau tetap mendatangi tempat itu. Sungguh itu lebih menyakitkan bagi karni.” Di dalam riwayat lain dikatakan bahwa Aisyah berkata, “Allah memberinya anak, sementara kami tidak dikaruni anak seorang pun.”
Beberapa orang dari kalangan golongan munafik menuduh Mariyah telah melahirkan anak hasil perbuatan serong dengan Maburi, budak yang menemaninya dari Mesir dan kemudian menjadi pelayan bagi Mariyah. Akan tetapi, Allah membukakan kebenaran untuk diri Mariyah setelah Ali ra. menemui Maburi dengan pedang terhunus. Maburi menuturkan bahwa dirinya adalah laki-laki yang telah dikebiri oleh raja.
Pada usianya yang kesembilan belas bulan, Ibrahim jatuh sakit sehingga meresahkan kedua orang tuanya. Mariyah bersama Sirin senantiasa menunggui Ibrahim. Suatu malarn, ketika sakit Ibrahim bertambah parah, dengan perasaan sedih Nabi saw. bersama Abdurrahman bin Auf pergi ke rumah Mariyah. Ketika Ibrahim dalam keadaan sekarat, Rasulullah saw. bersabda, “Kami tidak dapat menolongmu dari kehendak Allah, wahai Ibrahim.”
Tanpa beliau sadari, air mata telah bercucuran. Ketika Ibrahim meninggal dunia, beliau kembali bersabda,

“Wahai Ibrahim, seandainya ini bukan penintah yang haq, janji yang benar, dan masa akhir kita yang menyusuli masa awal kita, niscaya kami akan merasa sedih atas kematianmu lebih dari ini. Kami semua merasa sedih, wahai Ibrahim… Mata kami menangis, hati kami bersedih, dan kami tidak akan mengucapkan sesuatu yang menyebabkan murka Allah.”

Demikianlah keadaan Nabi saw ketika menghadapi kematian putranya. Walaupun tengah berada dalam kesedihan, beliau tetap berada dalam jalur yang wajar sehingga tetap menjadi contoh bagi seluruh manusia ketika menghadapi cobaan besar. Rasulullah saw. mengurus sendiri jenazah anaknya kemudian beliau menguburkannya di Baqi’.

C. Saat Wafatnya
Setelah Rasulullah wafat, Mariyah hidup menyendiri dan menujukan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Dia wafat lima tahun setelah wafatnya Rasulullah, yaitu pada tahun ke-46 hijrah, pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah sendiri yang menyalati jenazah Sayyidah Mariyah al-Qibtiyah, kemudian dikebumikan di Baqi’. Semoga Allah menempatkannya pada kedudukan yang mulia dan penuh berkah. Amin.
(Dinukil dari buku Dzaujatur-Rasulullah SAW, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh, [ed. Indonesia: Istri Rasulullah, Contoh dan Teladan, penerjemah: Ghufron Hasan, penerbit Gema Insani Press, Cet. Ketiga, Jumadil Akhir 1420H)]

Saiyyidatina Maimunah Binti Harith

Maimunah binti al-Harits al-Hilaliyyah al-'Amiriyyah (bahasa Arab: ميمونة بنت الحارث الهلالية العامرية) (lahir pada tahun 594, wafat pada tahun 51 H/673) adalah istri terakhir dari Nabi Muhammad S.A.W, dan termasuk dari Ibu Para Mukminin.

Ayahnya: al-Harits bin Huzn bin Bujair bin Hazm bin Ruwaibah bin Abdullah bin Hilal bin 'Amir bin Sha'sha'ah bin Muawiyah bin Bakr bin Hawazin bin Manshur bin 'Ikrimah bin Khafshah bin Qais bin 'Ailan bin Mudhar bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan.
Ibunya: Hindun binti 'Auf bin Zuhair bin Huthamah bin Jarasy bin Aslam bin Zaid bin Sahl bin 'Amru bin Qais bin Muawiyah bin Jasyam bin Abdu Syams bin Wa`il bin al-Ghauts bin Quthn bin 'Uraib bin Zuhair bin al-Ghauts bin Aiman bin al-Hamyasa' bin Humair bin Saba bin Yasy jab bin Ya'rib bin Qahthan.
Anak-anak Hindun binti 'Auf:

- Maimunah binti al-Harits
- Asma binti 'Amis al-Khatsa'miyyah, yang menikah dengan Ja'far bin Abi Thalib, kemudian menikah dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq, kemudian menikah dengan Ali bin Abi Thalib
- Urwa binti 'Amis al-Khatsa'miyyah, istri dari Hamzah bin Abdul-Muththalib
Ummu al-Fadhl Lubbabah al-Kubra binti al-Harits al-Hilaliyyah, istri Abbas bin Abdul-Muththalib
- Lubbabah ash-Shugra binti al-Harits al-Hilaliyyah, ibu dari Khalid bin Walid.

Monday, 9 November 2015

Kek Coklat Pisang

First trial...kata orang ala secret recipe..oleh kerana kita tak pernah merasa secret recipe ape bende...jadi kita agak 2 je la buatnya.

Resepi kek coklat..macam biasa kek coklat basah..
Beli tepung kek coklat yang dah siap (400g)
Telur 5 biji
Air 80mlm
Sekotak air susu perisa coklat.

Resepi coklat frosting
500 ml air susu periksa coklat (kena sejukkan)
4 paket serbuk whipping cream
(Semalam terlupa nak beli air coklat, itu yang frosting nya warna putih)

Resepi ganache coklat.
Coklat bar..ikut pilihan..
Susu@ heavy cream
(Tip untuk ganache, susu mestila agak2 sekadar menenggelamkan coklat je...tapi bukan tenggelam sampai lemas la)

Pisang secukupnya

Cara-cara
1. Mula-mula, bancuh kek, dan bakar dalam microwave. Adunan ni boleh buat 4 biji kek saiz sederhana. (Kena ukur balik saiz tupperware yang saya guna semalam)
2. Apabila kek dah masak, biar sejuk, lepastu belah dua. Dan masukkan ke dalam peti.
3. Sekarang buat frosting. Susu sejuk + serbuk whipping cream, pukul pakai garfu sampai bertanduk.
4. Assembling the cake, mula2 letak satu lapis kek, sapu frosting, kemudian susun pisang, then letak lagi frosting, baru letak lapisan kek lagi, dan tutup keseluruhan kek dengan frosting lagi2.( 1 biji kek perlu 2paket serbuk whipping cream)
5. Simpan kek dalam peti sejuk sementara nak buat ganache. Oleh kerana semalam, nak try buat ganache versi mesir tapi dah terlupa, buat je versi campur apa yang ada, masak susu dan minyak sikit (konsep heavy cream adalah dehydrogenated milk)...betul ke tak sebutannya tu tak tahulah, tapi maksudnya minyak tu kita masak dulu, so minyak tu la yang akan membekukan coklat. Bila dah agak menggelegak tu baru masukkan coklat. Kacau2 sampai berkilat.
6. Ganache ni kena tunggu sejuk baru boleh curah atas frosting, kalau tak dengan frosting2nya meleleh kat tepi. Menyesal tak berguna ya adik2

Dah boleh makan, nyum nyum.

P/s = kat mesir ni, susah juga nak cari barang kek yang kena dengan bajet kita, kalau nak meniaga tu lain la kan? Kalau macam kita nak makan sendiri, jadi macam kat atas tu la, asal boleh makan. Pengajaran dari kali pertama ni :
1. Kalau nak masak kek dengan microwave, kena guna versi kek lembap, kalau tak jadi macam plastik.
2. Double the frosting
3. Assemble kek atas pinggan, no more dalam bekas.
4. Belajar lagi buat ganache.

Semalam sebenarnya buat dua bekas, hajatnya nak bagi kat ummi(isteri pegawai), since tak berapa nak jadi, adik2 datang mengaji semalam, hidang je kat diorang, habis pula depa makan..semua cakap sedap. Saja nak bodek la tu..hahah, whatever, asalkan habis kek beta.

Markah untuk semalam : 50%
Cuba lagi lain kali :-)

Saiyyidatina Sofiyyah Bint Huyay

Shafiyah binti Huyay (Bahasa Arab صفية بنت حيي‎, Shafiya/ Shafya/ Safiyya/ Sofiya) (sekitar 610 M - 670 M) adalah salah satu istri ke-11 Muhammad yang berasal dari suku Bani Nadhir. Ketika menikah, ia masih berumur 17 tahun.[1] Ia mendapatkan julukan "Ummul mu'minin".[2] Bapaknya adalah ketua suku Bani Nadhir, salah satu Bani Israel yang bermukim disekitar Madinah

Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab bin Sa’yah bin Amir bin Ubaid bin Kaab bin al-Khazraj bin Habib bin Nadhir bin al-Kham bin Yakhurn, termasuk keturunan Harun bin Imran bin Qahits bin Lawi bin Israel bin Ishaq bin Ibrahim. Ibunya bernama Barrah binti Samaual darin Bani Quraizhah. Shafiyyah dilahirkan sebelas tahun sebelum hijrah, atau dua tahun setelah masa kenabian Muhammad.

Shafiyah telah menjanda sebanyak dua kali, karena dia pernah kawin dengan dua orang keturunan Yahudi yaitu Salam bin Abi Al-Haqiq (dalam kisah lain dikatakan bernama Salam bin Musykam), salah seorang pemimpin Bani Qurayzhah, namun rumah tangga mereka tidak berlangsung lama.

Kemudian suami keduanya bernama Kinanah bin Rabi' bin Abil Hafiq, ia juga salah seorang pemimpin Bani Qurayzhah yang diusir Rasulullah. Dalam Perang Khaibar, Shafiyah dan suaminya Kinanah bin Rabi' telah tertawan, karena kalah dalam pertempuran tersebut. Dalam satu perundingan Shafiyah diberikan dua pilihan yaitu dibebaskan kemudian diserahkan kembali kepada kaumny atau dibebaskan kemudian menjadi isteri Muhammad, kemudian Safiyah memilih untuk menjadi isteri Muhammad.

Shafiyah memiliki kulit yang sangat putih dan memiliki paras cantik, menurut Ummu Sinan Al-Aslamiyah, kecantikannya itu sehingga membuat cemburu istri-istri Muhammad yang lain. Bahkan ada seorang istri Muhammad dengan nada mengejek, mereka mengatakan bahwa mereka adalah wanita-wanita Quraisy bangsa Arab, sedangkan dirinya adalah wanita asing (Yahudi). Bahkan suatu ketika Hafshah sampai mengeluarkan lisan kata-kata, ”Anak seorang Yahudi” hingga menyebabkan Shafiyah menangis. Muhammad kemudian bersabda, “Sesungguhnya engkau adalah seorang putri seorang nabi dan pamanmu adalah seorang nabi, suamimu pun juga seorang nabi lantas dengan alasan apa dia mengejekmu?” Kemudian Muhammad bersabda kepada Hafshah, “Bertakwalah kepada Allah wahai Hafshah!” Selanjutnya manakala dia mendengar ejekan dari istri-istri nabi yang lain maka diapun berkata, “Bagaimana bisa kalian lebih baik dariku, padahal suamiku adalah Muhammad, ayahku (leluhur) adalah Harun dan pamanku adalah Musa?”[3] Shafiyah wafat tatkala berumur sekitar 50 tahun, ketika masa pemerintahan Mu'awiyah.

Sejak kecil dia menyukai ilmu pengetahuan dan rajin mempelajari sejarah dan kepercayaan bangsanya. Dari kitab suci Taurat dia membaca bahwa akan datang seorang nabi dari jazirah Arab yang akan menjadi penutup semua nabi. Pikirannya tercurah pada masalah kenabian tersebut, terutama setelah Muhammad muncul di Mekkah. Dia sangat heran ketika kaumnya tidak mempercayai berita besar tersebut, padahal sudah jelas tertulis di dalam kitab mereka sendiri. Demikian juga ayahnya, Huyay bin Akhtab, yang sangat gigih menyulut permusuhan terhadap kaum Muslim.

Sifat dusta, tipu muslihat, dan pengecut ayahnya sudah tampak di mata Shafiyyah dalam banyak peristiwa. Di antara yang menjadi perhatian Shafiyyah adalah sikap Huyay terhadap kaumnya sendiri, Yahudi Bani Qurayzhah. Ketika itu, Huyay berjanji untuk mendukung dan memberikan pertolongan kepada mereka jika mereka melepaskan perjanjian tidak mengkhianati kaum Muslim (Perjanjian Hudaibiyah). Akan tetapi, ketika kaum Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut, Huyay melepaskan tanggung jawab dan tidak menghiraukan mereka lagi. Hal lain adalah sikapnya terhadap orang-orang Quraisy Mekah. Huyay pergi ke Mekah untuk menghasut kaum Quraisy agar memerangi kaum Muslim dan mereka menyuruhnya mengakui bahwa agama mereka (Quraisy) lebih mulia daripada agama Muhammad, dan Tuhan mereka lebih baik daripada Tuhan Muhammad.

Penaklukan Khaibar dan PenawanannyaSunting
Perang Khandaq telah membuka tabir pengkhianatan kaum Yahudi terhadap perjanjian yang telah mereka sepakati dengan kaum muslimin. Muhammad segera menyadari ancaman yang akan menimpa kaum muslimin dengan berpindahnya kaum Yahudi ke Khaibar kernudian membentuk pertahanan yang kuat untuk persiapan menyerang kaum muslimin.

Setelah perjanjian Hudaibiyah disepakati untuk menghentikan permusuhan selama sepuluh tahun, Muhammad merencanakan penyerangan terhadap kaum Yahudi, tepatnya pada bulan Muharam tahun ketujuh hijriah. Muhammad memimpin tentara Islam untuk menaklukkan Khaibar, benteng terkuat dan terakhir kaum Yahudi. Perang berlangsung dahsyat hingga beberapa hari lamanya, dan akhirnya kemenangan ada di tangan umat Islam. Benteng-benteng mereka berhasil dihancurkan, harta benda mereka menjadi harta rampasan perang, dan kaum wanitanya pun menjadi tawanan perang. Di antara tawanan perang itu terdapat Shafiyyah, putri pemimpin Yahudi yang ditinggal mati suaminya.

Bilal membawa Shafiyyah dan putri pamannya menghadap Muhammad. Di sepanjang jalan yang dilaluinya terlihat mayat-mayat tentara kaumnya yang dibunuh. Hati Shafiyyah sangat sedih melihat keadaan itu, apalagi jika mengingat bahwa dirinya menjadi tawanan kaum muslimin. Muhammad memahami kesedihan yang dialaminva, kemudian ia bersabda kepada Bilal, “Sudah hilangkah rasa kasih sayang dihatimu, wahai Bilal, sehingga engkau tega membawa dua orang wanita ini melewati mayat-mayat suami mereka?” Muhammad memilih Shafiyyah sebagai istri setelah terlebih dahulu menawarkan untuk memeluk agama Islam kepadanya dan kemudian Shafiyyah menerima tawaran tersebut.

Seperti telah dikaji di atas, Shafiyyah telah banyak memikirkan Muhammad sejak dia belum mengetahui kerasulan dia. Keyakinannya bertambah besar setelah dia mengetahui bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Anas berkata, “Rasulullah ketika hendak menikahi Shafiyyah binti Huyay bertanya kepadanya, ‘Adakah sesuatu yang engkau ketahui tentang diriku?’ Dia menjawab, ‘Ya Rasulullah, aku sudah rnengharapkanrnu sejak aku masih musyrik, dan memikirkan seandainya Allah mengabulkan keinginanku itu ketika aku sudah memeluk Islam.” Ungkapan Shafiyyah tersebut menunjukkan rasa percayanya kepada Muhammad dan rindunya terhadap Islam.

Bukti-bukti yang jelas tentang keimanan Shafiyyah dapat terlihat ketika dia memimpikan sesuatu dalam tidurnya kemudian dia ceritakan mimpi itu kepada suaminya. Mengetahui takwil dan mimpi itu, suaminya marah dan menampar wajah Shafiyyah sehingga berbekas di wajahnya. Muhammad melihat bekas di wajah Shafiyyah dan bertanya, “Apa ini?” Dia menjawab, “Ya Rasul, suatu malam aku bermimpi melihat bulan muncul di Yastrib, kemudian jatuh di kamarku. Lalu aku ceritakan mimpi itu kepada suamiku, Kinanah. Dia berkata, ‘Apakah engkau suka menjadi pengikut raja yang datang dari Madinah?’ Kemudian dia menampar wajahku.”

Masa Pernikahannya (Menjadi Ummu al-Mukminin)Sunting
Muhammad menikahi Shafiyyah dan kebebasannya menjadi mahar perkawinan dengannya. Pernikahan Muhammad dengan Shafiyyah didasari beberapa landasan. Shafiyyah telah mernilih Islam serta menikah dengan Muhammad ketika ia memberinya pilihan antara memeluk Islam dan menikah dengan dia atau tetap dengan agamanya dan dibebaskan sepenuhnya. Ternyata Shafiyyah memilih untuk tetap bersama Muhammad, Selain itu, Shafiyyah adalah putri pemimpin Yahudi yang sangat membahayakan kaum muslim, di samping itu, juga karena kecintaannya kepada Islam dan Muhammad.

Muhammad menghormati Shafiyyah sebagaimana hormatnya ia terhadap istri-istri yang lain. Akan tetapi, istri-istri Muhammad menyambut kedatangan Shafiyyah dengan wajah sinis karena dia adalah orang Yahudi, di samping juga karena kecantikannya yang menawan. Akibat sikap mereka, Muhammad pernah tidak tidur dengan Zainab binti Jahsy karena kata-kata yang dia lontarkan tentang Shafiyyah. Aisyah bertutur tentang peristiwa tersebut, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam tengah dalam perjalanan. Tiba-tiba unta Shafiyyah sakit, sementara unta Zainab berlebih. Rasulullah berkata kepada Zainab, ‘Unta tunggangan Shafiyyah sakit, maukah engkau memberikan salah satu dan untamu?’ Zainab menjawab, ‘Akankah aku memberi kepada seorang perempuan Yahudi?’ Akhirnya, dia meninggalkan Zainab pada bulan Dzulhijjah dan Muharam. Artinya, dia tidak mendatangi Zainab selama tiga bulan. Zainab berkata, ‘Sehingga aku putus asa dan aku mengalihkan tempat tidurku.” Aisyah mengatakan lagi, “Suatu siang aku melihat bayangan Rasulullah datang. Ketika itu Shafiyyah mendengar obrolan Hafshah dan Aisyah tentang dirinya dan mengungkit-ungkit asal usul dirinya. Betapa sedih perasannya. Lalu dia mengadu kepada Rasulullah sambil menangis. Rasulullah menghiburnya, ‘Mengapa tidak engkau katakan, bagaimana kalian berdua lebih baik dariku, suamiku Muhammad, ayahku Harun, dan pamanku Musa.” Di dalam hadits riwayat Tirmidzi juga disebutkan, “Ketika Shafiyyah mendengar Hafshah berkata, ‘Perempuan Yahudi!’ dia menangis, kemudian Muhammad menghampirinya dan berkata, ‘Mengapa engkau menangis?’ Dia menjawab, ‘Hafshah binti Umar mengejekku bahwa aku wanita Yahudiah.’ Kemudian Muhammad bersabda, ‘Engkau adalah anak nabi, pamanmu adalah nabi, dan kini engkau berada di bawah perlindungan nabi. Apa lagi yang dia banggakan kepadamu?’ Muhammad kemudian berkata kepada Hafshah, ‘Bertakwalah engkau kepada Allah, Hafshah!”

Salah satu bukti cinta Shafiyyah kepada Muhammad terdapat pada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Saad dalarn Thabaqta-nya tentang istri-istri Nabi yang berkumpul menjelang dia wafat. Shafiyyah berkata, “Demi Allah, ya Nabi, aku ingin apa yang engkau derita juga menjadi deritaku.” Istri-istri Rasulullah memberikan isyarat satu sama lain. Melihat hal yang demikian, dia berkata, “Berkumurlah!” Dengan terkejut mereka bertanya, “Dari apa?” Dia menjawab, “Dari isyarat mata kalian terhadapnya. Demi Allah, dia adalah benar.”

Setelah Muhammad wafat, Shafiyyah merasa sangat terasing di tengah kaum muslimin karena mereka selalu menganggapnya berasal dan Yahudi, tetapi dia tetap komitmen terhadap Islam dan mendukung perjuangan Muhammad. Ketika terjadi fitnah besar atas kematian Utsman bin Affan, dia berada di barisan Utsman. Selain itu, dia pun banyak meriwayatkan hadits Nabi. Dia wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Marwan bin Hakam menshalatinya, kemudian menguburkannya di Baqi’.

Saiyyidatina Ummu Habibah Binti Abi Sufyan

Ummu Habibah Ramlah binti Abi Sufyan al-Umawiyyah al-Qurasyiyah al-Kinaniyyah (bahasa Arab: أم حبيبة رملة بنت أبي سفيان الأموية القرشية الكنانية) atau lebih dikenal dengan Ummu Habibah, Ramlah binti Abu Sufyan atau Ramlah binti Abi Sufyan (lahir pada tahun 35 Sebelum H/589, wafat di Madinah pada tahun 44 H/664) adalah istri dari Nabi Muhammad S.A.W, dan termasuk dari Ibu Para Mukminin.

Namanya: Ramlah dalam riwayat lain ia disebut sebagai Hindun.
Ayahnya: Abu Sufyan bin Harb bin Umayyah bin Abdu Syams bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Lu`ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhar (Quraisy) bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan.
Ibunya: Shafiyyah binti Abi al-'Ash bin Abdu Syams bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Lu`ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhar (Quraisy) bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan. Shafiyyah adalah bibi dari Khalifah Utsman bin Affan.
Bibinya: Ummu Jamil Urwa binti Harb, yang disebutkan di al-Qur'an sebagai perempuan pembawa kayu bakar
Saudaranya: Muawiyah

Ia meriwayatkan hadis Nabi Muhammad S.A.W sebanyak 65 hadis.

Ia wafat di Madinah pada tahun 44 H pada masa kekhalifahan saudaranya, Muawiyah, dan dimakamkan di Jannatul Baqi.

Saiyyidatina Juwairiyah Binti Harith

Juwairiyah binti al-Harits al-Mushthaliqiyyah al-Khuza'iyyah (bahasa Arab: جويرية بنت الحارث المصطلقية الخزاعية) atau lebih dikenal dengan Juwairiyah binti al-Harits (lahir pada tahun 15 Sebelum H/608, wafat di Madinah pada tahun 56 H/676) adalah istri dari Nabi Muhammad S.A.W, dan termasuk dari Ibu Para Mukminin.

Ayahnya: adalah seorang Sahabat Nabi yang mulia, dan merupakan Pembesar Bani al-Mushthaliq, namaanya al-Harits bin Dharar bin Habib bin 'A`idz bin Malik bin al-Mushthaliq bin Sa'id bin 'Amru bin Rabi'ah bin Haritsah bin Khuza'ah.

Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa'id dan 'Amru An Naqid dan Ibnu Abu 'Umar -dan lafaz ini milik Ibnu Abu 'Umar- mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Muhammad bin ‘Abdurrahman -budak- keluarga Thalhah dari Kuraib dari Ibnu ‘Abbas dari Juwairiyah bahwasanya Nabi S.A.W keluar dari rumah Juwairiyah pada pagi hari usai salat subuh dan dia tetap di tempat salatnya. Tak lama kemudian Rasulullah S.A.W kembali setelah terbit fajar (pada waktu dhuha), sedangkan Juwairiyah masih duduk di tempat salatnya. Setelah itu, Rasulullah menyapanya: Ya Juwairiyah, kamu masih belum beranjak dari tempat salatmu Juwairiyah menjawab; Ya, Saya masih di sini, di tempat semula ya Rasulullah. Kemudian Rasulullah S.A.W berkata: Setelah keluar tadi, aku telah mengucapkan empat rangkaian kata-kata -sebanyak tiga kali- yang kalimat tersebut jika dibandingkan dengan apa yang kamu baca seharian tentu akan sebanding, yaitu Subhaanallahi Wabihamdihi 'Adada Khalqihi wa Ridha Nafsihi wa Zinata 'Arsyihi wa Midada Kalimatihi yang artinya Maha Suci Allah dengan segala puji bagi-Nya sebanyak hitungan makhluk-Nya, menurut keridlaan-Nya, menurut arasy-Nya dan sebanyak tinta kalimat-Nya)
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Abu Kuraib dan Ishaq dari Muhammad bin Bisyr dari Mis'ar dari Muhammad bin 'Abdurrahman dari Abu Risydin dari Ibnu 'Abbas dari Juwairiyah dia berkata; bahwa suatu ketika Rasulullah S.A.W melewatiku ketika dia usai salat shubuh. -lalu dia menyebutkan redaksi yang serupa. Namun dia dengan menggunakan kalimat; Subhaanallah Wabihamdihi Subhaanallah 'Adada Khalqihi Subhaanallah Ridha Nafsihi Subhaanallah Zinata 'Arsyihi Subhaanallah Midaada Kalimaatihi. Yang artinya: Maha suci Allah sebanyak hitungan makhluk-Nya. Maha Suci Allah menurut keridlaan-Nya. Maha Suci Alloh menurut kebesaran arasy-Nya. Maha Suci Allah sebanyak paparan kelimat-Nya.

Juwairiyah menghafal beberapa hadis, termasuk dua hadis yang terdapat di dalam Sahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, selain itu juga terdapat di Sunan Abi Daud, Jami at-Tirmidzi, Sunan an-Nasa'i dan Sunan Ibnu Majah. Ia meriwayatkan hadis kepada Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Ubaid bin as-Sabbaq, Mujahid, dan lain-lain

Ia hidup pada masa kekhalifahan Muawiyah, dan wafat di Madinah pada bulan Rabi'ul Awwal 53 H/676, dan disalatkan oleh Marwan bin Hakam, Gubernur Madinah dan dimakamkan di Jannatul Baqi.

Friday, 6 November 2015

Me and myself

Tak pernah nak introduce diri sendiri kan?

Okla, permulaannya, Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh..

Nama saya aini afifah, boleh panggil aini, kak aini, mama khadijah, atau mama ihab ( since anak kami dan bakal anak2 kami yang insyaallah ramai lagi dimulakan dengan ihabullah atau hibatullah)

Anak sulung kepada Hj Huzaimy dan Hjh Asiah. Kakak kepada samiah, nadhirah, asma' dan baihaqi. Kakak long kepada semua sepupu2. Cucu sulung kepada atuk2 dan nenda2.

Isteri kepada syeikh Ahmad Zamzami. Sebenarnya suami saya takde pun nama syeikh tu macam astronaut malaysia Dato' Syeikh Mudzaffar. Tapi, syeikh ni bagi orang arab, adalah orang yang berilmu, jadi ia macam satu doa la bagi saya supaya suami lebih bersemangat menuntut dan mengajarkan ilmu agama. Insyaallah.

Saya masih lagi seorang ibu kepada Hibatullah Khadijah. Semoga diberi peluang menjadi ibu kepada ramai lagi Ihab2 dan Hibah2. AMIN.

Menantu kepada mertua dan ipar kepada ipar2 duai.. juga mempunyai beberapa orang anak saudara yang comel and cute miut.
(Imad, imdad, aufa, ulfa, aqif, din, dini, danial, izarul, afifah, izzu, auji dan bakal adiknya, aisyah, irsyad, auni)

Doakan semoga rumah tangga kami diberkati dan berkembang untuk Islam.
Haha, teringin sangat nak keluarga besar.

Saya seorang pelajar perubatan, insyaallah di tahun akhir, jadi most of my blog adalah catatan selamat tinggal " wadaan misra ummu dunya" haaa cenggitu..

Saya suka belajar pasal alam, psikologi, food, human being, forensic, semua la. Generally, saya suka baca dan belajar semua benda.

Saya juga seorang peminat perubatan alternatif dan natural child birth. Setakat ni sudah mempunyai sijil kualifikasi sebagai tenaga pengajar Amani Birth. Insyaallah lepas tamat belajar medic ni, selain dari sambung ke master, nak juga tambah degree alternative medicine, homeopathy ke, kan? Doakan saya.

Itu je la dulu. Insyaallah semoga ada lagi lain kali masa bercerita.

Ila lliqa'. Ma'a ssalamah

Thursday, 5 November 2015

Kek coklat lapis cheese versi microwave

Selepas beberapa hari exam, lepastu tengok pula ipar duai pakat upload gambar kek coklat, rasa teringin.
Kebetulan memang lama tak buat. Last time bila eh, 2 bulan lepas kut. Jadi ni resepi nya, resepi orang malas je.

=>Lapisan kek coklat (boleh buat dua biji)
Sekotak tepung kek coklat
250 ml susu (2 kotak air susu)
3 biji telur
90 ml minyak (2/3 cawan )

=>Lapisan cheese
Segelas cheese cream (250g )
1 biji telur
1 sudu gula
1 sudu tepung
1 sudu minyak
1 sudu kecil baking powder
1 sudu kecil vanila
100ml air/susu

Step:
1. Adunan kek coklat dibahagikan sama rata kepada 4 bahagian.
2. Bakar 1 bahagian dalam mikrowave, guna medium heat selama 6-8 minit
3. Bila dah masak lapisan coklat, curah lapisan cheese dan bakar selama 6-8 minit.
4. Akhir sekali, curahkan 1 bahagian lapisan cokolat untuk uppermost layer. Bakar selama 10-12 minit.
5. Angkat dan sejukkan kek. Letakkan cream dan hias dengan pisang. Nyum nyum nyum.

Sebenarnya saya buat dua kek, jadi separuh lagi tu, pandai 2 la nak bakar macam tu je ke, jadi kek coklat lembab atau buat adunan cheese 1 lagi. Buat banyak boleh share dengan jiran.

Lepastu, kalau tengok kek saya tu, saiz dia kecil je, tak tahu la berapa inci, tapi kalau letak sebiji dalam pinggan nasi tu muat la.

Untuk cream, saya guna serbuk whipping cream. Campur susu sejuk, kacau2 dengan garfu. Since sekarAng ni dah masuk winter, jadi tak perlula tenaga yang banyak nak blender@mixer. 3 minit je dah pekat.

Saiyyaditina Zainab bin Jahsy RA

Zainab binti Jahsy bin Ri`ab al-Asadiyyah (bahasa Arab: زينب بنت جحش بن رئاب الأسدية) atau lebih dikenal dengan Zainab binti Jahsy (lahir pada tahun 33 Sebelum H/590, wafat di Madinah pada tahun 20 H/641) adalah sepupu dan istri dari Nabi Muhammad S.A.W, dan termasuk dari Ibu Para Mukminin.

Ayahnya: Jahsyi bin Ri`ab bin Yu'ammar bin Shabrah bin Kabir bin Ghanam bin Dudan bin Asad bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan. Jahsyi adalah sekutu bagi pembesar Quraisy, Abdul Muthalib.[1]
Ibunya: Umaimah binti Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka'ab bin Lu`ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin an-Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma'ad bin Adnan. Umaimah adalah bibi dari Nabi Muhammad S.A.W.[2]

Ia masuk Islam sejak lama, kemudian hijrah bersama Nabi Muhammad S.A.W ke Madinah, setelah itu menikah dengan Zaid bin Haritsah, kemudian diceraikan oleh Zaid, maka turunlah ayat di al-Qur'an surat al-Ahzab mengenai pernikahan nabi Muhammad S.A.W dengan Zainab, maka menikahlah nabi dengannya, pada awalnya ia bernama Barrah, kemudian namanya diganti menjadi Zainab, dan karenanyalah turun ayat mengenai hijab. Ia dikenal sebagai pribadi yang sering bersedekah.

Ia merupakan istri nabi yang paling pertama wafat setelah kematian nabi, tepatnya pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab di tahun 20 H. Ia wafat pada usia 53 tahun dan dimakamkan di Jannatul Baqi

Hadis 1082 Al-Azkar An-Nawawiyah


عن أبي ثعلبة الخشني رضي الله عنه ، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ، قال : إن الله فرض فرائض ، فلا تضيعوها ، وحد حدودا فلا تعتدوها ، وحرم أشياء ، فلا تنتهكوها ، وسكت عن أشياء رحمة لكم غير نسيان ، فلا تبحثوا عنها . حديث حسن ، رواه الدارقطني وغيره

Dari Abi Tsa'labah Al-Khushni RA, Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya Allah Azzawajalla mewajibkan amalan fardhu (solat, puasa ), maka janganlah kamu menyampaikannya (beralasan). Dan dia telah menetapkan batasan hukum, maka janganlah kamu melanggarnya, dan Dia telah mengharamkan apa yang haram, jangalah kamu buat. Dan dia telah meringankan beberapa perkara, maka janganlah kamu memberatkan dan berlebihan.

Hadis dibaca dan dihuraikan oleh Syeikh Rifaat Fauzi di dalam majlis khatam kitab Azkar An-Nawawi....mengikut kefahaman penulis blog

Tuesday, 3 November 2015

Saiyyidatina Hindun Al- Makhzumi RA

Hind bint Abi Umayya (bahasa Arab: هند بنت أبي أمية) (c. 580 - 680) adalah istri dari Nabi Muhammad, dan termasuk dari Ibu Para Mukminin.

Hind bint Abi Umayya, Hind al Makhzumiyah, Hind bint Suhayl, juga dipanggil Umm Salama (Ibu dari Salama) (bahasa Arab: أم سلمة هند بنت أبي أمية)[butuh rujukan].

Setelah kematian Abdullah ibn Abdul Asad di Perang Uhud, dia juga dikenal sebagai Ayyin al-Arab - Mata Arab[butuh rujukan].

Kehidupan awal Sunting
Ia adalah anak dari Bani Makhzum yang dipanggil Zad ar-Rakib karena kebaikannya kepada kabilah yang lewat. Nama aslinya adalah Hind dan ia termasuk dari orang yang diincar dan dianiaya oleh Quraisy[1].

Zaman Nabi Muhammad SAW Sunting
Umm Salama dan suaminya, Abd-Allah ibn Abd-al-Asad, termasuk dari Pemeluk Islam pertama atau As-Sabiqun al-Awwalun[2].

Suaminya syahid setelah terkena serangan yang ia terima ketika Perang Uhud. Ia memiliki empat orang anak dari Abdullah sebelum menikah dengan Muhammad.

Salama ibn Abd Allah
Umar ibn Abd Allah
Zaynab ibn Abd Allah
Durra ibn Abd Allah
Setelah kematian Abdullah ibn Abdul Asad, dia juga dikenal sebagai Ayyin al-Arab (Baca: ia yang kehilangan suaminya)[butuh rujukan]. Ia tak memiliki saudara dan keluarga di Madinah kecuali anak - anaknya, namun ia ditolong oleh Muhajirin dan Anshar. Setelah ia menyelesaikan masa 'Iddah-nya (ie. Masa menunggu bagi wanita yang baik dicerai atau meninggal, untuk kembali menikah) empat bulan dan 10 hari, Abu Bakar dan 'Umar mencoba melamarnya, namun ditolak oleh Umm Salama. Lalu Muhammad mencoba untuk melamarnya juga dan diterimanya. Umm Salama menikah dengan Muhammad ketika berusia 29 tahun[3].

Setelah Nabi Muhammad SAW Sunting
Ummu Salama meninggal di usia 83 tahun.

Sunday, 1 November 2015

Petua mendapat anak kembar

1.Doa
2. Baca "سلام علي موسى وهارون "
3. Puasa. Ketika berbuka, baca " يا بارئ المصور " sebanyak 21x
4. Banyakkan bersedekah.
5. Amalkan makan putih telur
6. Amalkan makan soya pada hari pertama haid - hari ke 7
7. Amalkan minum air akar fatimah (kaffu maryam) pada untuk memperbaiki tisu rahim
8. Makan ubat kesuburan, clomid, gonal f etc
9. Perbaiki diet
10. Ambil supplemen dan vitamin.
11. Makan ubi kayu
12. Pengambilan asid folik, vitamin hamil dan baby aspirin..tak tahulah sejauh mana keberkesanannya.
13. BMI di antara 23-26
14. Bertambah umur dan sudah mengandung beberapa kali

Peringatan :
1. Mengandung kembar bermakna risiko kuasa dua. Kalau kembar tiga = risiko kuasa tiga.
2. Perlukan persediaan mental, fizikal, ilmu, wang ringgit etc
3. Kalau kembar seiras = pembahagian sel yang tak normal. Antara risiko kembar seiras, twin-twin transfusion, kembar siam.
4. Apa-apa pun, rezeki tu hak milik Allah SWT. Dia yang layak menentukan apa yang terbaik untuk kita.

-ini idea asal saya hasil pembacaan dan kaji selidik rawak, tiada jaminan dari sudut medik. Kalau nak copy, please link ke blog asal, so i know how many couples try my tips and got twins. Usaha anda membantu kesuburan umat Islam :)-

Saiyyidatina Zainab Binti Khuzaimah

Zainab binti Khuzaimah adalah istri Rasulullah yang dikenal dengan kebaikan, kedermawanan, dan sifat santunnya terhadap orang miskin. Dia adalah istri Rasul kedua yang wafat setelah Khadijah r.a. Untuk memuliakan dan mengagungkannya, Rasulullah mengurus mayat Zainab dengan tangan dia sendiri.

Kehidupan

Nama lengkap Zainab adalah Zainab binti Khuzaimah bin Haris bin Abdillah bin Amru bin Abdi Manaf bin Hilal bin Amir bin Sha’shaah al-Hilaliyah. Ibunya bernama Hindun binti Auf bin Harits bin Hamathah. Berdasarkan asal usul keturunannya, dia termasuk keluarga yang dihormati dan disegani. Tanggal lahirnya tidak diketahui dengan pasti, namun ada riwayat yang rnenyebutkan bahwa dia lahir sebelum tahun ketiga belas kenabian. Sebelum memeluk Islam dia sudah dikenal dengan gelar Ummul Masakin (ibu orang-orang miskin) sebagaimana telah dijelaskan dalam kitab Thabaqat ibnu Saad bahwa Zainab binti Khuzaymah adalah Ummul Masakin. Gelar tersebut disandangnya sejak masa jahiliah.

Ath-Thabary, dalam kitab As-Samthus-Samin fi Manaqibi Ummahatil Mu’minin pun menerangkan bahwa Rasulullah saw. menikahinya sebelum dia menikah dengan Maimunah r.a., dan ketika itu dia sudah dikenal dengan sebutan Ummul-Masakin sejak zaman jahiliah. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa Zainab binti Khuzaimah terkenal dengan sifat murah hatinya, kedermawanannya, dan sifat santunnya terhadap orang-orang miskin yang dia utamakan daripada kepada dirinya sendiri. Sifat tersebut sudah tertanam dalam dirinya sejak memeluk Islam walaupun pada saat itu dia belum mengetahui bahwa orang-orang yang baik, penyantun, dan penderma akan memperoleh pahala di sisi Allah.

Keislaman dan Pernikahannya

Zainab binti Khuzaimah r.a. termasuk kelompok orang yang pertama-tama masuk Islam dari kalangan wanita. Yang mendorongnya masuk Islam adalah akal dan pikirannya yang baik, menolak syirik dan penyembahan berhala, dan selalu menjauhkan diri dari perbuatan jahiliah. Para perawi berbeda pendapat tentang nama-nama suami pertama dan kedua sebelum dia menikah dengan Rasulullah. Sebagian perawi mengatakan bahwa suami pertama Zainab adalah Thufail bin Harits bin Abdil-Muththalib, yang kemudian menceraikannya. Dia menikah lagi dengan Ubaidah bin Harits, namun dia terbunuh pada Perang Badar atau Perang Uhud. Sebagian perawi mengatakan bahwa suami keduanya adalah Abdullah bin Jahsy. Sebenarnya masih banyak perawi yang mengemukakan pendapat yang berbeda-beda. Akan tetapi, dari berbagai pendapat itu, pendapat yang paling kuat adalah riwayat yang mengatakan bahwa suami pertamanya adalah Thufail bin Harits bin Abdil-Muththalib. Karena Zainab tidak dapat melahirkan (mandul), Thufail menceraikannya ketika mereka hijrah ke Madinah.

Untuk memuliakan Zainab, Ubaidah bin Harits (saudara laki-laki Thufail) menikahi Zainab. Sebagaimana kita ketahui, Ubaidah bin Harits adalah salah seorang prajurit penunggang kuda yang paling perkasa setelah Hamzah bin Abdul Muthalib dan Ali bin Abi Thalib. Mereka bertiga ikut melawan orang-orang Quraisy dalam Perang Badar, dan akhirnya Ubaidah mati syahid dalam perang tersebut. Setelah Ubaidah wafat, tidak ada riwayat yang menjelaskan tentang kehidupannya hingga Rasulullah saw. menikahinya. Rasulullah menikahi Zainab karena dia ingin melindungi dan meringankan beban kehidupan yang dialaminya. Hati dia menjadi luluh melihat Zainab hidup menjanda, sementara sejak kecil dia sudah dikenal lemah lembut terhadap orang- orang miskin. Sebagai Rasul yang membawa rahmat bagi alam semesta, dia rela mendahulukan kepentingan kaum muslimin, termasuk kepentingan Zainab. Dia senantiasa memohon kepada Allah agar hidup miskin dan mati dalam keadaan miskin dan dikumpulkan di Padang Mahsyar bersama orang-orang miskin.

Meskipun Nabi saw. mengingkari beberapa nama atau julukan yang dikenal pada zaman jahiliah, tetapi beiau tidak mengingkari julukan “ummul masakin” yang disandang oleh Zainab binti Khuzaimah. Selain dikenal sebagai wanita yang belas kasih, Zainab juga dikenal sebagai istri Rasulullah saw. yang senang meringankan beban saudara-saudaranya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Atha bin Yasir yang mengisahkan, bahwa Zainab mempunyai seorang budak hitam dari Habasyah. Ia sangat menyayangi budak itu, hingga budak dari Habasyah itu tidak diperlakukan layaknya seorang budak, Zainab malah memperlakukan layaknya seorang kerabat dekat.

Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah saw. pernah menyatakan pujian kepada Ummul Mukminin Zainab binti Khuzaimah r.a. dengan sabdanya, Ia benar-benar menjadi ibunda bagi orang-orang miskin, karena selalu memberikan makan dan bersedekah kepada mereka.

Menjadi Ummul-Mukminin

Tidak diketahui dengan pasti masuknya Zainab binti Khuzaimah kedalam rumah tangga Nabi saw, apakah sebelum Perang Uhud atau sesudahnya. Yang jelas, Rasulullah saw. menikahinya karena kasih sayang terhadap umatnya walaupun wajah Zainab tidak begitu cantik dan tidak seorang pun dari kalangan sahabat yang bersedia menikahinya. Tentang lamanya Zainab berada dalam kehidupan rumah tangga Rasulullah pun banyak terdapat perbedaan. Salah satu pendapat mengatakan bahwa Zainab memasuki rumah tangga Rasulullah selama tiga bulan, dan pendapat lain delapan bulan. Akan tetapi, yang pasti, prosesnya sangat singkat karena Zainab meninggal semasa Rasulullah hidup. Di dalam kitab sirah pun tidak dijelaskan penyebab kematiannya. Zainab meninggal pada usia relatif muda, kurang dari tiga puluh tahun, dan Rasulullah yang menyalatinya.

Saiyyidatina Hafsah bint Umar Alkhattab

Hafshah binti Umar (Arab:حفصة بنت عمر) adalah salah seorang istri Muhammad. Ia seorang janda dari seorang pria bernama Khunais bin Hudhafah al-Sahmiy yang meninggal dunia saat Perang Badar.

Nama lengkap Hafshah adalah Hafshah binti Umar bin Khaththab bin Naf’al bin Abdul-Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurt bin Rajah bin Adi bin Luay dari suku Arab Adawiyah. Ibunya adalah Zaynab binti Madh’un bin Hubaib bin Wahab bin Hudzafah, saudara perempuan Utsman bin Madh’un.

Hafshah dilahirkan pada tahun yang sangat terkenal dalam sejarah orang Quraisy, yaitu ketika Rasullullah memindahkan Hajar Aswad ke tempatnya semula setelah Ka’bah dibangun kembali setelah roboh karena banjir. Pada tahun itu juga dilahirkan Fathimah az-Zahra, putri bungsu Rasulullah dari empat putri, dan kelahirannya disambut gembira oleh dia. Beberapa hari setelah Fathimah lahir, lahirlah Hafshah binti Umar bin Khaththab. Mendengar bahwa yang lahir adalah bayi wanita, Umar sangat berang dan resah, sebagaimana kebiasaan bapak-bapak Arab Quraisy ketika mendengar berita kelahiran anak perempuannya. Waktu itu mereka menganggap bahwa kelahiran anak perempuan telah membawa aib bagi keluarga. Padahal jika saja ketika itu Umar tahu bahwa kelahiran anak perempuannya akan membawa keberuntungan, tentu Umar akan menjadi orang yang paling bahagia, karena anak yang dinamai Hafshah itu kelak menjadi istri Rasulullah. Di dalam Thabaqat, Ibnu Saad berkata, “Muhammad bin Umar berkata bahwa Muhammad bin Zaid bin Aslam, dari ayahnya, dari kakeknya, Umar mengatakan, ‘Hafshah dilahirkan pada saat orang Quraisy membangun Ka’bah, lima tahun sebelum Nabi diutus menjadi Rasul.”

Sayyidah Hafshah r.a. dibesarkan dengan mewarisi sifat ayahnya, Umar bin Khaththab. Dalam soal keberanian, dia berbeda dengan wanita lain, kepribadiannya kuat dan ucapannya tegas. Aisyah melukiskan bahwa sifat Hafshah sama dengan ayahnya. Kelebihan lain yang dimiliki Hafshah adalah kepandaiannya dalam membaca dan menulis, padahal ketika itu kemampuan tersebut belum lazim dimiliki oleh kaum perempuan.

Hafshah tidak termasuk ke dalam golongan orang yang pertama masuk Islam, karena ketika awal-awal penyebaran Islam, ayahnya, Umar bin Khaththab, masih menjadi musuh utama umat Islam hingga suatu hari Umar tertarik untuk masuk Islam. Ketika suatu waktu Umar mengetahui keislaman saudara perempuannya, Fathimah dan suaminya Said bin Zaid, dia sangat marah dan berniat menyiksa mereka. Sesampainya di rumah saudara perempuannya, Umar mendengar bacaan Al-Qur’an yang mengalun dan dalam rumah, dan memuncaklah amarahnya ketika dia memasuki rumah tersebut. Tanpa ampun dia menampar mereka hingga darah mengucur dari kening keduanya. Akan tetapi, hal yang tidak terduga terjadi, hati Umar tersentuh ketika melihat darah mengucur dari dahi adiknya, kemudian diambilnyalah Al Qur’an yang ada pada mereka. Ketika selintas dia membaca awal surat Thaha, terjadilah keajaiban. Hati Umar mulai diterangi cahaya kebenaran dan keimanan. Allah telah mengabulkan doa Nabi . yang mengharapkan agar Allah membuka hati salah seorang dari dua Umar kepada Islam. Yang dimaksud Rasulullah dengan dua Umar adalah Amr bin Hisyam atau lebih dikenal dengan Abu Jahl dan Umar bin Khaththab.

Setelah kejadian itu, dari rumah adiknya dia segera menuju Rasulullah dan menyatakan keislaman di hadapan dia, Umar bin Khaththab bagaikan bintang yang mulai menerangi dunia Islam serta mulai mengibarkan bendera jihad dan dakwah hingga beberapa tahun setelah Rasulullah wafat. Setelah menyatakan keislaman, Umar bin Khaththab segera menemui sanak keluarganya untuk mengajak mereka memeluk Islam. Seluruh anggota keluarga menerima ajakan Umar, termasuk di dalamnya Hafshah yang ketika itu baru berusia sepuluh tahun.

Keislaman Umar membawa keberuntungan yang sangat besar bagi kaum muslimin dalam menghadapi kekejaman kaum Quraisy. Kabar keislaman Umar ini memotivasi para muhajirin yang berada di Habasyah untuk kembali ke tanah asal mereka setelah sekian lama ditinggalkan. Di antara mereka yang kembali itu terdapat seorang pemuda bernama Khunais bin Hudzafah as-Sahami. Pemuda itu sangat mencintai Rasulullah sebagaimana dia pun mencintai keluarga dan kampung halamannya. Dia hijrah ke Habasyah untuk menyelamatkan diri dan agamanya. Setibanya di Mekah, dia segera mengunjungi Umar bin Khaththab, dan di sana dia melihat Hafshah. Dia meminta Umar untuk menikahkan dirinya dengan Hafshah, dan Umar pun merestuinya. Pernikahan antara mujahid dan mukminah mulia pun berlangsung. Rumah tangga mereka sangat berbahagia karena dilandasi keimanan dan ketakwaan.

Ketika Allah menerangi penduduk Yatsrib sehingga memeluk Islam, Rasulullah menemukan sandaran baru yang dapat membantu kaum muslimin. Karena itulah dia mengizinkan kaum muslimin hijrah ke Yatsrib untuk menjaga akidah mereka sekaligus menjaga mereka dan penyiksaan dan kezaliman kaum Quraisy. Dalam hijrah ini, Hafshah dan suaminya ikut serta ke Yatsrib.

Setelah kaum muslimin berada di Madinah dan Rasulullah . berhasil menyatukan mereka dalam satu barisan yang kuat, tiba saatnya bagi mereka untuk menghadapi orang musyrik yang telah memusuhi dan mengambil hak mereka. Selain itu, perintah Allah untuk berperang menghadapi orang musyrik sudah tiba.

Peperangan pertama antara umat Islam dan kaum musyrik Quraisy adalah Perang Badar. Dalam peperangan ini, Allah telah menunjukkan kemenangan bagi hamba- hamba-Nya yang ikhlas sekalipun jumlah mereka masih sedikit. Khunais termasuk salah seorang anggota pasukan muslimin, dan dia mengalami luka yang cukup parah sekembalinya dari peperangan tersebut. Hafshah senantiasa berada di sisinya dan mengobati luka yang dideritanya, namun Allah berkehendak memanggil Khunais sebagai syahid dalam peperangan pertama melawan kebatilan dan kezaliman, sehingga Hafshah menjadi janda. Ketika itu usia Hafshah baru delapan belas tahun, namun Hafshah telah memiliki kesabaran atas cobaan yang menimpanya.

Umar sangat sedih karena anaknya telah menjadi janda pada usia yang sangat muda, sehingga dalam hatinya terbetik niat untuk menikahkan Hafshah dengan seorang muslim yang saleh agar hatinya kembali tenang. Untuk itu dia pergi ke rumah Abu Bakar dan meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, Abu Bakar diam, tidak menjawab sedikit pun. Kemudian Umar menemui Utsman bin Affan dan meminta kesediaannya untuk menikahi putrinya. Akan tetapi, pada saat itu Utsman masih berada dalam kesedihan karena istrinya, Ruqayah binti Muhammad, baru meninggal. Utsman pun menolak permintaan Umar. Menghadapi sikap dua sahabatnya, Umar sangat kecewa, dan dia bertambah sedih karena memikirkan nasib putrinya. Kemudian dia menemui Rasulullah dengan maksud mengadukan sikap kedua sahabatnya. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah . bersabda, “Hafshah akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Utsman dan Abu Bakar. Utsman pun akan menikah dengan seseorang yang lebih baik daripada Hafshah.” Semula Umar tidak memahami maksud ucapan Rasulullah, tetapi karena kecerdasan akalnya, dia kemudian memahami bahwa Rasulullah yang akan meminang putrinya.

Umar merasa sangat terhormat mendengar niat Rasulullah untuk menikahi putrinya, dan kegembiraan tampak pada wajahnya. Umar langsung menemui Abu Bakar untuk mengutarakan maksud Rasulullah. Abu Bakar berkata, “Aku tidak bermaksud menolakmu dengan ucapanku tadi, karena aku tahu bahwa Rasulullah telah menyebut-nyebut nama Hafshah, namun aku tidak mungkin membuka rahasia dia kepadamu. Seandainya Rasulullah membiarkannya, tentu akulah yang akan menikahi Hafshah.” Umar baru memahami mengapa Abu Bakar menolak menikahi putrinya. Sedangkan sikap Utsman hanya karena sedih atas meninggalnya Ruqayah dan dia bermaksud menyunting saudaranya, Ummu Kultsum, sehingga nasabnya dapat terus bersambung dengan Rasulullah. Setelah Utsman menikah dengan Ummu Kultsum, dia dijuluki dzunnuraini (pemilik dua cahaya). Pernikahan Rasulullah . dengan Hafshah lebih dianggap sebagai penghargaan dia terhadap Umar, di samping juga karena Hafshah adalah seorang janda seorang mujahid dan muhajir, Khunais bin Hudzafah as-Sahami.

Di rumah Rasulullah, Hafshah menempati kamar khusus, sama dengan Saudah binti Zum’ah dan Aisyah binti Abu Bakar. Secara manusiawi, Aisyah sangat mencemburui Hafshah karena mereka sebaya, lain halnya Saudah binti Zum’ah yang menganggap Hafshah sebagai wanita mulia putri Umar bin Khaththab, sahabat Rasulullah yang terhormat.

Umar memahami bagaimana tingginya kedudukan Aisyah di hati Rasulullah. Dia pun mengetahui bahwa orang yang menyebabkan kemarahan Aisyah sama halnya dengan menyebabkan kemarahan Rasulullah, dan yang ridha terhadap Aisyah berarti ridha terhadap Rasulullah. Karena itu Umar berpesan kepada putrinya agar berusaha dekat dengan Aisyah dan mencintainya. Selain itu, Umar meminta agar Hafshah menjaga tindak-tanduknya sehingga di antara mereka berdua tidak terjadi perselisihan. Akan tetapi, memang sangat manusiawi jika di antara mereka masih saja terjadi kesalah pahaman yang bersumber dari rasa cemburu. Dengan lapang dada Rasulullah mendamaikan mereka tanpa menimbulkan kesedihan di antara istri – istrinya. Salah satu contoh adalah suatu ketika Rasulullah mampir di rumah Hafshah, dan berhenti di situ lebih lama dari biasanya, lantas aisyah bertanya mengenai apa yang terjadi : dikatakan kepada ku, ternyata seorang wanita dari kaumnya telah memberikan semangkuk madu, lalu dia (Hafshah) menuangkan seteguk kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, Aisyah pun berkata; Demi Allah, saya akan menggodanya. Kemudian aisyah memberi tahu Saudah, aisyah berkata; Jika dia masuk menemuimu, sebab sebentar lagi dia akan mampir (di rumahmu), maka katakanlah kepadanya; Wahai Rasulullah, apakah anda habis makan buah maghafir? Pasti dia nanti akan bilang tidak. Lalu katakan lagi kepadanya; Lalu bau apakah ini? Biasanya dia sangat tidak suka jika mendapati bau, nanti dia akan mengatakan kepadamu; Hafshah telah menuangkan untukku seteguk madu, lalu katakanlah kepada dia; Lebahnya makan buah 'urfuth (sejenis pohon dengan buah yang berbau tidak sedap). Maka saya akan mengatakan seperti itu kepada dia, dan kamu juga wahai Shafiyah. Ketika dia masuk ke rumah Suadah, Saudah berkata; Demi Dzat yang tidak ada ilah yang berhak disembah selain Dia, hampir saja saya mengungkapkan apa yang kamu (Aisyah) katakan kepadaku karena saya takut kepadamu, ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam baru sampai di depan pintu, tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mendekat, dia mengatakan; Wahai Rasulullah, apakah anda habis makan buah Maghair? Dia menjawab: "Tidak." Dia melanjutkan; Lantas, bau apakah ini? Dia menjawab: "Hafshah telah menuangkan untukku seteguk madu." Dia melajutkan; Lebahnya makan urfuth. Tatkala dia menemui aisyah, aisyah pun mengatakan seperti itu, kemudian dia masuk ke rumah Shafiyah, maka Shafiyah pun mengatakan dengan hal yang sama. Tatkala dia masuk ke rumah Hafshah, dia berkata; Wahai Rasulullah, apakah saya perlu menuangkan madu lagi? Dia menjawab: "Tidak, saya tidak membutuhkan lagi." Kemudian Saudah berkata; Subhanallah, demi Allah, sungguh kita telah mengharamkannya. Aisyah berkata kepadanya; Diamlah kamu!

Maka turunlah ayat: "Mengapa kamu mengharamkan apa yang d halalkan Allah untukmu-sampai Firman-Nya- jika kamu berdua bertaubat -yaitu Aisyah dan Hafshah- dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya suatu peristiwa." (At Tahrim: 1-3).

Hafshah senantiasa bertanya kepada Rasulullah dalam berbagai masalah, dan hal itu menyebabkan marahnya Umar kepada Hafshah, sedangkan Rasulullah . senantiasa memperlakukan Hafshah dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Dia bersabda, “Berwasiatlah engkau kepada kaum wanita dengan baik.” Rasulullah . pernah marah besar kepada istri-istrinya ketika mereka meminta tambahan nafkah sehingga secepatnya Umar mendatangi rumah Rasulullah. Umar melihat istri-istri Rasulullah murung dan sedih, sepertinya telah terjadi perselisihan antara mereka dengan Rasulullah. Secara khusus Umar memanggil putrinya, Hafshah, dan mengingatkannya untuk menjauhi perilaku yang dapat membangkitkan amarah dia dan menyadari bahwa dia tidak memiliki banyak harta untuk diberikan kepada mereka. Karena marahnya, Rasulullah bersumpah untuk tidak berkumpul dengan istri-istri dia selama sebulan hingga mereka menyadari kesalahannya, atau menceraikan mereka jika mereka tidak menyadari kesalahan. Kaitannya dengan hal ini, Allah berfirman,

“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, jika kalian menghendaki kehidupan dunia dan segala perhiasannya, maka kemarilah, aku akan memenuhi keinginanmu itu dan aku akan menceraikanmu secara baik-baik. Dan jika kalian menginginkan (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di kampung akhirat, sesungguhnya Allah akan menyediakan bagi hamba-hamba yang baik di antara kalian pahala yang besar. “ (QS. Al-Ahzab :28)

Rasulullah . menjauhi istri-istrinya selama sebulan di dalam sebuah kamar yang disebut khazanah, dan seorang budak bernama Rabah duduk di depan pintu kamar.

Setelah kejadian itu tersebarlah kabar yang meresahkan bahwa Rasulullah . telah menceraikan istri-jstri dia. Yang paling merasakan keresahan adalah Umar bin Khaththab, sehingga dia segera menemui putrinya yang sedang menangis. Umar berkata, “Sepertinya Rasulullah telah menceraikanmu.” Dengan terisak Hafshah menjawab, “Aku tidak tahu.” Umar berkata, “Dia telah menceraikanmu sekali dan merujukmu lagi karena aku. Jika dia menceraikanmu sekali lagi, aku tidak akan berbicara dengan mu selama-lamanya.” Hafshah menangis dan menyesali kelalaiannya terhadap suami dan ayahnya. Setelah beberapa hari Rasulullah menyendiri, belum ada seorang pun yang dapat memastikan apakah dia menceraikan istri-istri dia atau tidak. Karena tidak sabar, Umar mendatangi khazanah untuk menemui Rasulullah yang sedang menyendiri. Sekarang ini Umar menemui Rasulullah bukan karena anaknya, melainkan karena cintanya kepada dia dan merasa sangat sedih melihat keadaan dia, di samping memang ingin memastikan isu yang tersebar. Dia merasa putrinyalah yang menjadi penyebab kesedihan dia. Umar pun meminta penjelasan dari dia walaupun di sisi lain dia sangat yakin bahwa dia tidak akan menceraikan istri – istri dia. Dan memang benar, Rasulullah tidak akan menceraikan istri-istri dia sehingga Umar meminta izin untuk mengumumkan kabar gembira itu kepada kaum muslimin. Umar pergi ke masjid dan mengabarkan bahwa Rasulullah tidak menceraikan istri-istri dia. Kaum muslimin menyambut gembira kabar tersebut, dan tentu yang lebih gembira lagi adalah istri-istri dia.

Setelah genap sebulan Rasulullah menjauhi istri-istrinya, dia kembali kepada mereka. Dia melihat penyesalan tergambar dari wajah mereka. Mereka kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Untuk lebih meyakinkan lagi, dia mengumumkan penyesalan mereka kepada kaum muslimin. Hafshah dapat dikatakan sebagai istri Rasul yang paling menyesal sehingga dia mendekatkan diri kepada Allah dengan sepenuh hati dan menjadikannya sebagai tebusan bagi Rasulullah. Hafshah memperbanyak ibadah, terutama puasa dan salat malam. Kebiasaan itu berlanjut hingga setelah Rasulullah wafat. Bahkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, dia mengikuti perkembangan penaklukan-penaklukan besar, baik di bagian timur maupun barat.

Hafshah merasa sangat kehilangan ketika ayahnya meninggal di tangan Abu Lu’luah. Dia hidup hingga masa kekhalifahan Utsman, yang ketika itu terjadi fitnah besar antar muslimin yang menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman hingga masa pembai’atan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah. Ketika itu, Hafshah berada pada kubu Aisyah sebagaimana yang diungkapkannya, “Pendapatku adalah sebagaimana pendapat Aisyah.” Akan tetapi, dia tidak termasuk ke dalam golongan orang yang menyatakan diri berba’iat kepada Ali bin Abi Thalib karena saudaranya, Abdullah bin Umar, memintanya agar berdiam di rumah dan tidak keluar untuk menyatakan ba’iat.

Tentang wafatnya Hafshah, sebagian riwayat mengatakan bahwa Sayyidah Hafshah wafat pada tahun ke empat puluh tujuh pada masa pemerintahan Mu’awiyah bin Abu Sufyan. Dia dikuburkan di Baqi’, bersebelahan dengan kuburan istri-istri Nabi yang lain.

Karya besar Hafshah bagi Islam adalah terkumpulnya Al-Qur’an di tangannya setelah mengalami penghapusan karena dialah satu-satunya istrii Nabi. yang pandai membaca dan menulis. Pada masa Rasul, Al-Qur’an terjaga di dalam dada dan dihafal oleh para sahabat untuk kemudian dituliskan pada pelepah kurma atau lembaran-lembaran yang tidak terkumpul dalam satu kitab khusus.

Pada masa khalifah Abu Bakar, para penghafal Al-Qur’an banyak yang gugur dalam peperangan Riddah (peperangan melawan kaum murtad). Kondisi seperti itu mendorong Umar bin Khaththab untuk mendesak Abu Bakar agar mengumpulkan Al-Qur’an yang tercecer. Awalnya Abu Bakar merasa khawatir kalau mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu kitab itu merupakan sesuatu yang mengada-ada karena pada zaman Rasul hal itu tidak pernah dilakukan. Akan tetapi, atas desakan Umar, Abu bakar akhirnya memerintah Hafshah untuk mengumpulkan Al-Qur’an, sekaligus menyimpan dan memeliharanya. Mushaf asli Al-Qur’an itu berada di rumah Hafshah hingga dia meninggal.